Budaya Patriarki Yang Identik Dengan Perempuan Termaginalkan
Relasi
antara laki-laki dan perempuan merupakan tema yang tak kunjung usai. Bahkan,
Erich Fromm mengatakan bahwa pertentangan yang terjadi antara relasi kedua
jenis kelamin ini telah berlangsung sejak enam ribu tahun silam (Fromm, 2000:176). Persoalan menjadi
semakin kental ketika dalam relasi ini terjadi ketimpangan di mana terdapat
hubungan subordinasi. Bentuk pendobrakan perempuan atas kuasa laki-laki tidak
terlepas dari sistem patriarki yang tidak adil yang menempatkan perempuan
sebagai bayang-bayang laki-laki. Hubungan laki-laki dan perempuan dalam sistem patriarki
tidak digambarkan sebagai hubungan dengan entitas masing-masing. Akan tetapi,
salah satu entitas (perempuan) digambarkan identitasnya dalam hubungannya
dengan laki-laki. St. Thomas Aquinas mengatakan bahwa perempuan adalah
laki-laki yang tidak sempurna. Pernyataan ini menggambarkan bagaimana konsep perempuan ditentukan dari konsep
mengenai laki-laki terlebih dahulu. Lebih rumit lagi, sistem patriarki
memperoleh kontrol atas seluruh bidang pengetahuan serta melanggengkan dominasi
ini dalam aktivitas belajar-mengajar dengan menjadikannya resmi dan formal.
Filsafat, hukum, teologi, sastra, seni, dan ilmu alam adalah arena dominasi wacana
laki-laki. Hegemoni laki-laki atas penciptaan pengetahuan telah menyingkirkan
pengetahuan dan pengalaman bersama keahlian dan aspirasinya. Jelaslah bahwa selama ini keseluruhan
tubuh perempuan digambarkan dan diberi identitas oleh dunia patriarki sehingga
perempuan tidak bisa memberi identitas terhadap dirinya sendiri. Selain itu,
identitas perempuan selalu berhubungan dengan identitas laki-laki – dalam
bahasa Simone de Beauvoir dinamakan
liyan (the other). Artinya, keberadaan perempuan ditentukan dalam hubungannya dengan laki-laki, bukan
karena mereka memiliki identitas sendiri. Laki-laki menjadi ukuran dan standard
untuk mendefinisikan dan menentukan kodrat perempuan, bukan perempuan yang
diukur atas kualitas yang dimilikinya sendiri.
Sejak zaman
Yunani kuno hingga sekarang perempuan tidak ditempatkan dalam ciri-ciri
kualitas yang mereka miliki, tetapi lebih pada kualitas laki-laki yang tidak
mereka miliki. Pada masa Yunani, perempuan dimunculnya, misalnya, dengan
rendahnya rasio, sedangkan di tempat lainnya dengan lemahnya kekuatan yang
dimiliki, sementara bagi Freud karena mereka tidak memiliki penis. Hal ini
sungguh menunjukkan bahwa sejarah perempuan sepenuhnya ditentukan secara
relatif oleh laki-laki yang lantas menjadi ideal-ideal, standard, norma, dan
ukuran-ukuran yang tidak hanya unggul namun utama dan bahkan satu-satunya.
Menurut Gatens, struktur ini tidak dapat dijelaskan secara sederhana sebagai
prasangka atau seksisme sadar atau tidak sadar yang berasal dari laki-laki. Ini
adalah ciri dari pemikiran yang dapat disebut phallusentrisme yang beroperasi
dengan cara pemikiran dikotomis di mana satu konsep didefinisikan dan
menentukan yang lainnya dengan hanya relatif mengacu pada dirinya sendiri (Hidayat, 2004:156-157).
Relasi yang
tidak adil antara laki-laki dan perempuan dalam dunia filsafat disinyalir kuat
dipicu oleh tradisi pemikiran dikotomik. Dalam dunia dualisme Plato, misalnya,
dikatakan bahwa manusia dibagi dari dua unsur, yaitu jiwa dan badan, di mana
jiwa lebih mulia daripada badan. Dari pengkategorian Plato tersebut akhirnya
dapat terlihat bahwa hierarki salah satu kategori pasti lebih tinggi kedudukannya
daripada kategori yang lainnya. Gadis Arivia (2003:162) menyatakan bahwa
kategori dikotomik dapat ditelusuri sejak awal terbentuknya filsafat Yunani.
Data-data dari kelompok Iona memperlihatkan pemikiran dikotomik, seperti
baik/buruk, terang/malam, kesatuan/pluralitas, laki-laki/perempuan. Yang perlu
dicatat di sini adalah adanya kategori dikotomik ini berasosiasikan dengan mana
yang berkarakteristik perempuan dan mana yang berkarakteristik laki-laki.
Laki-laki diasosiasikan dengan yang baik, terang, kesatuan, dan sebagainya, dan
sebaliknya perempuan merujuk kepada buruk, malam, pluralitas, dan lainnya.
Dalam abad
modern pun ternyata pemikiran yang dikotomik berkembang dengan subur. Pemikiran
Descartes misalnya, mendominasi refleksi filsafatnya atas dunia, pengetahuan,
dan sifat dasariah manusia. Descartes berusaha untuk menjelaskan segala yang
eksis dengan mengacu pada dua tema, yaitu pemikiran dan materi (mind dan
matter). Dikotomi ini dipresentasikan sebagai alat logika atau teori yang
berguna untuk memilah-milah dunia dan berusaha memahaminya. Tentunya, cara ini
dilihat sebagai cara pandang yang alamiah, objektif, dan benar. Pandangan objektif
inilah yang menjadi pangkal masalah. Keobjektifan mengandaikan bahwa pandangan
tersebut berasal dari wilayah transenden sehingga tidak dapat diganggu gugat
lagi. Inilah yang menempatkan posisi perempuan dengan nilai-nilai feminitasnya
semakin sulit. Nancy J. Holland, seorang feminis,
mengemukakan bahwa argumentasi dikotomik tidak dapat dimengerti sebagai sesuatu
yang alamiah untuk memilah-milah dalam membuat suatu kategori. Cara ini, masih
menurutnya, mengandung asumsi-asumsi implisit yang mengedepankan nilai-nilai
tertentu. Dan dalam analisa feminisme, ternyata pendikotomian tersebut
di”seksualkan” dengan tujuan untuk lebih mengedepankan nilai maskulinitas dan
merendahkan nilai-nilai feminitas (Arivia, 2002: 162).
Cara
pandang itu semakin menguat pada abad pencerahan, di mana phallogosentrisme
menjadi cara pandang yang kuat, telah menempatkan perempuan dalam posisi yang
tidak layak. Salah satu pemikiran yang cenderung mengobjektivikasi perempuan
adalah ilmu pengetahuan modern, di mana perempuan seringkali diasosiasikan
sebagai alam (objek), sedangkan laki-laki adalah subjek. Pandangan ini jelas
tampak dalam pernyataan Francis Bacon berikut ini: “I am come ini very truth leading you nature with all her children to
bind her to you service and make her your slave” (Hidayat: 2003:4). Pada
dasarnya, kritik aliran-aliran dalam feminismemengacu pada satu hal, yakni
adanya ketimpangan dalam relasi antara laki-laki dan perempuan. Hanya saja,
dalam pengejawantahannya, masing-masing aliran menggunakan jalur yang berbeda
karena perbedaan paradigma yang dipakai.
Comments
Post a Comment